Di Balik Tiang Pinang Licin: Kisah 17 Agustus
Azis - Thursday, 31 July 2025 | 09:08 AM


INFOKBB.ID - Setiap tanggal 17 Agustus tiba, suasana di kampung-kampung mendadak berubah jadi festival dadakan. Bendera merah putih berkibar di mana-mana, tiang-tiang bambu dihias cantik, dan gelak tawa riuh rendah bersahutan. Tapi di antara semua lomba balap karung, makan kerupuk, atau tarik tambang, ada satu primadona yang selalu jadi magnet perhatian: Panjat Pinang!
Bayangin deh, sebatang pohon pinang yang tinggi menjulang, dilumuri oli atau minyak sampai licinnya nggak karuan. Di puncaknya, bergelantungan berbagai hadiah yang bikin mata ijo: sepeda, televisi, peralatan dapur, sampai sabun mandi atau mie instan. Puluhan pasang mata menatap penuh harap, sementara di bawah, para peserta siap-siap, bahu-membahu, membentuk piramida manusia demi meraih impian di puncak sana. Lumpur, keringat, tawa, dan kadang umpatan tipis campur aduk jadi satu. Pemandangan khas yang bikin perut mules campur auto-ngakak.
Tapi, pernah nggak sih kalian kepikiran, kok bisa ya lomba seikonik ini jadi tradisi wajib perayaan kemerdekaan? Apa jangan-jangan dari dulu nenek moyang kita udah seneng manjat-manjat pohon pinang? Nah, ternyata, kalau kita telisik lebih dalam, sejarah Panjat Pinang ini nggak sesederhana kelihatannya. Ada kisah panjang, ironis, dan akhirnya membanggakan di baliknya. Siap-siap terkejut, karena ternyata akar Panjat Pinang ini justru berasal dari masa penjajahan Belanda!
Dari "De Klimmast" Menjadi Tontonan Wajib Kolonial
Jangan kaget, ya. Lomba Panjat Pinang yang sekarang kita kenal sebagai simbol kebersamaan dan perjuangan, dulunya bernama lain: "De Klimmast" atau "Mastklimmen". Dan ini bukan permainan untuk rakyat pribumi, melainkan tontonan hiburan bagi para meneer dan mevrouw Belanda yang lagi berulang tahun, atau merayakan hari besar Ratu Belanda. Iya, kamu nggak salah baca. Ini semacam sirkus hidup, di mana orang-orang pribumi diminta manjat tiang licin itu demi hiburan para penjajah.
Bayangkan deh situasinya: Orang-orang Belanda duduk manis di kursi-kursi, menikmati minuman dan makanan enak, sambil menertawakan orang-orang pribumi yang berjuang mati-matian manjat tiang licin. Hadiahnya? Jangan harap dapat sepeda apalagi televisi. Paling banter ya keju Belanda, gula, kain sarung, atau benda-benda kebutuhan sehari-hari yang bagi orang Belanda itu biasa saja, tapi buat pribumi itu udah termasuk barang mewah atau sulit didapat. Ironis banget, kan? Mereka melihat kita berjuang, terjatuh, kotor, dan terengah-engah, sebagai bagian dari tontonan yang lucu dan mengasyikkan. Ini bukan sekadar permainan, tapi juga cara halus untuk menunjukkan dominasi dan merendahkan.
Jadi, setiap kali ada perayaan penting di kalangan Belanda, De Klimmast ini jadi salah satu 'atraksi' wajib. Orang-orang pribumi dipaksa atau dibujuk untuk ikut, kadang karena butuh hadiahnya, kadang juga karena nggak punya pilihan lain. Suasananya jauh dari kegembiraan gotong royong seperti sekarang. Ada nuansa paksaan, tontonan yang merendahkan, dan jurang pemisah yang jelas antara penonton dan peserta.
Merajut Kembali Makna: Dari Penjajah ke Pahlawan
Nah, setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, terjadi pergeseran makna yang luar biasa pada Panjat Pinang. Dari yang tadinya tontonan untuk penjajah, Panjat Pinang bertransformasi menjadi simbol perjuangan, persatuan, dan kebahagiaan rakyat yang sudah merdeka. Ini adalah sebuah bentuk re-appropriasi budaya yang sangat cerdas.
Masyarakat Indonesia nggak membuang begitu saja tradisi manjat tiang ini. Justru, mereka mengambilnya, memodifikasinya, dan memberikan makna baru yang sangat dalam. Tiang licin itu sekarang bukan lagi representasi penindasan, melainkan tantangan yang harus ditaklukkan bersama. Jatuh berkali-kali bukan lagi bahan tertawaan, tapi bukti ketekunan dan semangat untuk bangkit lagi. Hadiah di puncak bukan lagi sisa-sisa pemberian penjajah, melainkan buah dari kerja keras dan gotong royong seluruh warga.
Perayaan 17 Agustus menjadi momen yang pas banget buat Panjat Pinang. Kenapa? Karena lomba ini merefleksikan banget semangat perjuangan kemerdekaan kita. Bayangin deh, untuk mencapai puncak, peserta harus kerja sama, membangun piramida manusia yang kokoh. Ada yang jadi pondasi kuat di bawah, ada yang berkorban bahunya diinjak, ada yang jadi 'penyerang' utama di paling atas. Semuanya saling menopang, nggak ada yang bisa sukses sendirian. Ini persis seperti perjuangan para pahlawan kita, yang bahu-membahu, bersatu padu, mengorbankan segalanya demi satu tujuan: kemerdekaan.
Uniknya lagi, Panjat Pinang juga penuh strategi. Siapa yang harus naik duluan? Bagaimana cara melumuri tiang agar makin licin tapi tetap bisa dipanjat? Kapan waktu yang tepat untuk beraksi? Semua butuh otak encer dan jiwa korsa yang nggak kaleng-kaleng. Dan kalaupun gagal, mereka nggak menyerah. Mereka jatuh, ketawa-ketawa, lalu coba lagi. Sama seperti kita yang dulu berkali-kali jatuh bangun melawan penjajah, tapi semangat pantang menyerah selalu membara.
Panjat Pinang Hari Ini: Lebih dari Sekadar Lomba
Sampai hari ini, Panjat Pinang tetap jadi primadona perayaan 17 Agustus. Nggak afdol rasanya kalau nggak ada Panjat Pinang. Dari Sabang sampai Merauke, di kota-kota besar hingga pelosok desa, Panjat Pinang selalu jadi magnet yang mengumpulkan warga. Tua muda, laki-laki perempuan, semua ikut larut dalam keseruan, entah sebagai peserta atau penonton setia.
Memang, ada beberapa diskusi atau pro-kontra tentang Panjat Pinang ini. Beberapa orang berpendapat bahwa lomba ini masih menyimpan jejak-jejak sejarah yang memilukan, atau dianggap merendahkan martabat karena mempertontonkan orang yang berjuang untuk hadiah receh. Tapi, mayoritas masyarakat Indonesia justru melihatnya dengan kacamata yang berbeda. Mereka melihat Panjat Pinang bukan lagi sebagai warisan pahit penjajahan, melainkan sebagai sebuah tradisi yang sudah kita 'ambil alih' dan beri makna baru.
Panjat Pinang sekarang adalah tentang gotong royong, tentang kebersamaan yang terjalin saat satu kampung berteriak menyemangati. Ini tentang tawa renyah saat ada yang melorot dengan lucunya. Ini tentang perjuangan yang jujur, tanpa sandiwara. Ini tentang merayakan kemerdekaan dengan cara yang paling Indonesia: penuh semangat, ceria, dan nggak jaim.
Jadi, kali lain kalau kalian melihat atau ikut Panjat Pinang, coba deh rasakan atmosfernya. Bukan cuma sekadar lomba, tapi ada lapisan-lapisan sejarah, perjuangan, dan kebersamaan di baliknya. Dari tontonan yang merendahkan, Panjat Pinang kini menjelma jadi simbol kebanggaan dan persatuan. Sebuah bukti nyata bahwa bangsa kita punya daya lentur luar biasa dalam mengubah luka menjadi tawa, dan kenangan pahit menjadi perayaan yang tak terlupakan. Merdeka.***
Next News

Surat Cinta KDM untuk Kokom Viral, Aksi Iyep dengan Minyak Wangi Banjir Komentar Warganet
3 days ago

Asmara Gen Z Episode 285: Misteri Kedatangan Ken
4 days ago

Asmara Gen Z Episode 280: Perseteruan 9 Ilmu dan Anak Tirta Kembali Pecah
10 days ago

Asmara Gen Z Episode 278: Kekhawatiran Aqila dan Perburuan Axel
11 days ago

Gen Z Merapat! AsmaraGenZ: Tontonan yang Ngertiin Kamu!
11 days ago

Rinjani Memanggil: Siap Petualangan Tak Terlupakan?
17 days ago

Mpok Alpa Wafat, Irfan Hakim Ungkap Momen Mengharukan
22 days ago

10 Cafe Bandung Paling Instagramable, Bikin Feed Kece!
23 days ago

Yuk, Eksplorasi Pesona Jalan-Jalan Ikonik Bandung!
24 days ago

Jangan Sampai Ketinggalan! Sensasi Bakso Viral Batujajar.
a month ago