News

PPPK Paruh Waktu: Nasib Honorer Makin Pasti?

Azis - Friday, 22 August 2025 | 09:34 AM

Background
PPPK Paruh Waktu: Nasib Honorer Makin Pasti?

 

INFOKBB.ID - Pernah dengar istilah Pekerja Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)? Tentu saja. Ini kan program yang digadang-gadang jadi “jalan ninja” buat para honorer agar nasibnya tidak lagi “mengambang” kayak kerupuk kena air. Sebuah upaya mulia dari pemerintah untuk memberikan kepastian status kepada ribuan, bahkan jutaan, tenaga honorer yang selama ini jadi tulang punggung pelayanan publik dengan gaji yang seringkali bikin meringis. Tapi, di tengah euforia ini, muncul lagi satu varian yang bikin dahi mengernyit: PPPK Paruh Waktu. Nah lho, ini “obat” atau “cobaan” baru lagi ya?

Bagi sebagian orang, terutama yang sudah puluhan tahun mengabdi sebagai honorer dengan janji-janji manis yang tak kunjung terpenuhi, status PPPK ini ibarat oasis di tengah gurun pasir birokrasi yang kering kerontang. Ada kepastian, ada gaji, ada jaminan, meskipun mungkin tidak semewah PNS. Tapi begitu dengar “paruh waktu”, kok rasanya jadi kayak lagi disuruh milih: mau “ada tapi nggak utuh” atau “sama sekali nggak ada”? Semacam pil pahit yang harus ditelan demi sebuah status yang masih tanda tanya besar soal kesejahteraannya.

Apa Itu PPPK Paruh Waktu, dan Kenapa Ada?

Oke, mari kita bedah dulu apa sebenarnya PPPK paruh waktu ini. Sederhananya, ini adalah skema baru yang disiapkan pemerintah untuk menampung para tenaga honorer yang tidak lolos seleksi PPPK penuh waktu. Atau, bisa juga jadi solusi alternatif agar tidak semua honorer harus “dirumahkan” ketika batas waktu penghapusan tenaga honorer tiba. Jadi, daripada tidak ada status sama sekali, mereka ditawari status PPPK, tapi dengan jam kerja yang lebih sedikit, otomatis gaji juga mengikuti, alias separuh dari gaji PPPK penuh waktu, atau bahkan kurang.

Logika pemerintah mungkin simpel: daripada “membebani” anggaran negara dengan mengangkat semua honorer jadi PPPK penuh, skema paruh waktu ini bisa jadi jalan tengah. Anggaran lebih hemat, tapi honorer tetap punya status dan (katanya) “dibina”. Tapi coba deh kita berpikir dari kacamata Bu Ani, seorang guru honorer SD yang sudah 15 tahun mengajar dengan gaji pas-pasan. Atau Pak Budi, tenaga administrasi di Puskesmas yang sudah hafal luar kepala semua seluk-beluk laporan. Mereka ini kan sudah terbiasa kerja “full”, bahkan seringkali lembur tanpa dibayar. Lalu tiba-tiba ditawari status PPPK paruh waktu dengan gaji yang dipangkas setengah? Rasanya seperti diberi payung, tapi disuruh berdiri di tengah hujan badai.

Dilema Hidup di Antara Tuntutan dan Realita Angka

Bayangkan saja, gaji honorer saja sudah seringkali bikin kepala pusing tujuh keliling. Untuk hidup di kota besar, gaji Rp 1,5 juta atau Rp 2 juta rasanya cuma cukup buat bayar cicilan motor, beli beras, sama sesekali beli pulsa data. Itu pun kalau tidak ada kebutuhan mendesak lain. Lalu tiba-tiba “gaji separuh”? Jadi, mereka harus hidup dengan Rp 750 ribu sampai Rp 1 juta sebulan? Ini bukan cuma soal “hidup sederhana”, ini soal “bertahan hidup” di tengah inflasi yang terus merangkak naik dan tuntutan hidup yang tidak pernah kompromi.

Jangankan untuk menabung atau liburan, untuk makan sehari-hari pun sudah kayak main tebak-tebakan. Ujung-ujungnya, mereka harus cari pekerjaan sampingan lagi. Mengajar privat setelah jam sekolah, jualan online, ngojek, atau bahkan jadi buruh serabutan di akhir pekan. Lantas, apa bedanya dengan status honorer yang dulu? Bedanya cuma ada embel-embel “PPPK” di kartu identitas, tapi dompet tetap sama-sama kosong, atau bahkan lebih kosong. Miris banget kan?

Bukan cuma soal uang, lho. Ada juga masalah psikologis dan sosial yang “menyertai” skema ini. Rasa tidak dihargai, perasaan menjadi warga negara “kelas dua” dalam birokrasi. Mereka yang selama ini mengabdi dengan sepenuh hati, menjadi ujung tombak pelayanan publik di garda terdepan, kini dihadapkan pada pilihan sulit yang serba salah. “Ambil atau tidak?” Kalau tidak diambil, statusnya hilang. Kalau diambil, perut dan keluarga tetap harus dipertimbangkan.

Harapan yang Masih Menggantung di Tengah Ketidakpastian

Pemerintah mungkin punya niat baik. Maksudnya, kan, ingin memberikan solusi. Tapi kadang, solusi yang “instan” atau “setengah hati” itu justru menciptakan masalah baru yang lebih kompleks di tingkat akar rumput. Kita semua tahu kok, kalau masalah honorer ini bukan masalah baru kemarin sore. Ini sudah mengakar bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Dan solusinya tentu tidak bisa cuma “dipangkas” sana-sini tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya.

Apakah PPPK paruh waktu ini bisa jadi jembatan menuju status penuh di masa depan? Atau jangan-jangan, ini cuma strategi “buang badan” agar masalah honorer ini seolah-olah sudah “beres” di mata publik? Pertanyaan-pertanyaan ini masih menggantung di benak banyak honorer, dan juga kita semua yang peduli dengan keadilan. Idealnya, jika pemerintah ingin memberikan kepastian status, seharusnya juga diimbangi dengan kepastian kesejahteraan yang layak. Bukan cuma “diakui” statusnya, tapi “direalisasikan” martabatnya sebagai pekerja.

Intinya, fenomena PPPK paruh waktu ini adalah cerminan dari kompleksitas masalah birokrasi dan ketenagakerjaan di negeri kita. Antara keinginan untuk efisiensi anggaran di satu sisi, dan tuntutan keadilan serta kesejahteraan bagi para pekerja di sisi lain. Semoga saja, ke depan ada kebijakan yang lebih humanis, lebih komprehensif, dan tidak sekadar “mengganti baju” masalah tanpa menyelesaikan esensinya. Karena bagaimanapun, mereka adalah bagian penting dari roda pemerintahan yang tak boleh diabaikan begitu saja.