Teknologi

Kecanduan Gadget? Cek HP Pagi Jadi Kebiasaan?

Azis - Thursday, 24 July 2025 | 01:31 PM

Background
Kecanduan Gadget? Cek HP Pagi Jadi Kebiasaan?

 

INFOKBB.ID Coba jujur, berapa banyak dari kita yang bangun tidur langsung nyari ponsel? Belum melek sempurna, tangan udah otomatis ngeraba nakas, nyari benda pipih yang layarnya nyala itu. Bukan buat ngecek jam doang, tapi lebih ke "ada apa nih di dunia maya semalam?". Mulai dari notifikasi WhatsApp yang numpuk, update status teman di Instagram, sampai notifikasi diskon dari toko online langganan. Nah, kalau jawaban lo adalah "iya, banget!", berarti kita senasib. Kita semua, tanpa sadar atau mungkin sadar banget, sudah terjebak dalam pusaran teknologi dan gadget yang rasanya nggak bisa dipisahin lagi dari hidup.

Dulu, inget nggak sih, zaman emak-bapak kita masih pakai telepon kabel yang bunyinya 'kring' kalo ada yang nelpon? Atau pas awal-awal HP muncul, ukurannya segede bata, layarnya monokrom, dan cuma bisa buat nelpon sama SMS? Nggak ada tuh cerita scrolling TikTok atau live streaming. Sekarang? Nggak perlu pake nanya, di kantong atau tas kita masing-masing udah nangkring 'komputer mini' yang bisa ngapain aja. Mau ngecek saldo bank? Bisa. Mau order makanan? Tinggal tap. Mau nonton film terbaru? Streaming aja. Semua serba instan, serba cepat, dan ada di genggaman. Perjalanan teknologi ini, guys, emang nggak kaleng-kaleng. Evolusinya bikin kita geleng-geleng kepala sekaligus berdecak kagum.

Dari Telepon Kabel ke Dunia dalam Genggaman

Nggak bisa dipungkiri, gadget dan teknologi ini udah jadi berkah banget. Coba bayangin pas pandemi kemarin, kalau nggak ada internet dan smartphone, gimana ceritanya kita bisa WFH atau sekolah online? Komunikasi sama keluarga atau teman yang beda kota atau bahkan beda negara jadi semudah kirim pesan teks atau video call. Nggak ada lagi drama telepon interlokal yang mahal yang bikin tagihan jebol. Dari sisi produktivitas, aplikasi-aplikasi penunjang kerja atau belajar bertebaran di mana-mana, bikin kita makin efisien. Presentasi jadi lebih cakep dengan template instan, riset jadi lebih gampang dengan akses database online, bahkan belajar bahasa baru pun cuma modal aplikasi dan headset. Sungguh, kehidupan kita jadi jauh lebih praktis dan banyak hal yang dulunya mustahil, kini jadi mungkin.

Bukan cuma soal kerjaan dan komunikasi, urusan hiburan juga makin dipermudah. Bosan di rumah? Tinggal buka Netflix, HBO Go, atau Disney+ Hotstar, ribuan film dan serial siap nemenin. Penggemar game? Dari game mobile ringan yang bisa dimainin sambil nunggu antrean, sampai game AAA dengan grafis memukau yang bikin lupa waktu, semua bisa diakses dari perangkat yang sama. Dan tentu saja, media sosial. Instagram, TikTok, Twitter (sekarang X), Facebook, semuanya jadi ajang eksistensi, cari informasi, atau sekadar scrolling nggak jelas ngeliatin orang lain joget-joget atau pamer kemewahan. Kadang bikin ketawa, kadang bikin mikir, "ini orang niat banget bikin kontennya," kadang juga bikin ngerasa FOMO (Fear Of Missing Out) kalau liat teman liburan ke tempat estetik atau makan enak. Ya, begitulah dinamika dunia maya kita.

Dua Sisi Mata Uang: Ketergantungan dan Masalah Privasi

Tapi, ya namanya juga dua sisi mata uang, ada enaknya, ada juga nggak enaknya. Ketergantungan. Ini PR besar kita semua. Coba deh sehari aja nggak pegang HP, atau matiin data internet seharian. Rasanya kayak ada yang kurang, gelisah, mati gaya, bahkan panik. Ini yang sering disebut sindrom "nomophobia" – ketakutan nggak bisa terhubung dengan ponsel. Ini bukan bercanda, lho, ini beneran ada. Belum lagi urusan mental health. Terlalu sering scrolling media sosial kadang bikin kita ngebandingin diri sama orang lain yang kelihatannya hidupnya sempurna, ujung-ujungnya malah insecure, overthinking, atau bahkan depresi. Informasi yang bejibun juga kadang bikin pusing tujuh keliling, apalagi kalau udah ketemu hoaks atau berita provokatif yang bikin emosi naik ke ubun-ubun.

Terus, masalah privasi data? Ini topik yang nggak kalah bikin merinding. Sadar nggak sih, setiap kita klik "setuju" di syarat dan ketentuan aplikasi, kita secara nggak langsung ngasih akses data pribadi kita? Data lokasi, kontak, bahkan sampai kebiasaan browsing kita. Jangan heran kalau iklan yang muncul tiba-tiba kok pas banget sama apa yang kita obrolin kemarin atau barang yang kita cari di e-commerce. Nah, itu salah satu "efek samping" dari dunia digital. Belum lagi kultur konsumerisme yang didorong oleh gadget itu sendiri. Baru beli HP baru, eh enam bulan kemudian udah ada versi yang lebih canggih, bikin hati terketuk buat upgrade. Duit melayang, tapi kepuasan cuma sesaat. Ini siklus yang nggak ada habisnya, dan vendor gadget seolah terus-menerus memancing kita untuk selalu ingin yang terbaru.

Bijak di Era Digital: Jangan Sampai Kita yang Dibudaki

Ke depan, teknologi bakal makin gila lagi perkembangannya. Kecerdasan buatan (AI) makin pintar dan meresap ke berbagai aspek hidup, Internet of Things (IoT) yang bikin semua benda bisa terhubung dan 'bicara' satu sama lain, sampai konsep metaverse yang katanya bakal jadi dunia paralel kita. Kedengarannya canggih dan futuristik, tapi juga sedikit bikin mikir, "kita masih jadi manusia normal nggak sih nanti?" Intinya, teknologi ini nggak akan berhenti berinovasi. Pertanyaannya, gimana kita menyikapinya? Apakah kita akan jadi budak gadget, atau justru mengendalikannya untuk kepentingan yang lebih baik, untuk meningkatkan kualitas hidup, bukan malah menenggelamkan diri di dalamnya?

Pada akhirnya, teknologi dan gadget itu ibarat pisau bermata dua. Bisa jadi alat yang sangat berguna untuk mempermudah hidup, menghubungkan kita dengan dunia, dan membuka gerbang ilmu pengetahuan yang tak terbatas. Tapi, di sisi lain, kalau nggak bijak menggunakannya, bisa jadi bumerang yang bikin kita kecanduan, menguras emosi, bahkan menggerus interaksi sosial di dunia nyata yang sebenarnya jauh lebih berharga. Jadi, kuncinya ada di kita. Mari kita gunakan gadget dengan bijak, sesekali 'detoks digital' untuk rehat sejenak dan bernapas dari hiruk pikuk notifikasi, dan jangan sampai lupa sama dunia nyata yang nggak kalah indah dan butuh kehadiran kita seutuhnya. Ingat, teknologi itu cuma alat, jangan sampai dia yang mengendalikan hidup kita. Kan sayang, hidup cuma sekali, masa dihabisin cuma buat scrolling doang? ***